Friday, September 9, 2016

hakikat remaja

. HAKIKAT REMAJA
Istilah remaja berasal dari bahasa Latin “adolescence” yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence juga mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget ( Hurlock, 1980: 206):
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak… Intelegensi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber… Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok… Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.
Sedangkan menurut Hurlock (1980: 206), remaja adalah mereka berada pada usia berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia tujuh belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pernyataan ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu, yaitu di awal abad kedua puluh oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall (dalam Santrock, 2003: 193) pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan yang sampai sekarang banyak dikutip orang.
B. KARAKTERISTIK REMAJA
Elida (2006: 3) mengungkapkan bahwa ciri-ciri remaja yang sedang berkembang cenderung digambarkan sebagai permunculan tingkah laku yang negatif, seperti suka melawan, gelisah, periode badai dan tekanan, tidak stabil dan berbagai label buruk lainnya.
Sejalan dengan itu, McCandles, 1970; Dusek, 1977; Bezonsky; 1981 (dalam Elida, 2006: 3) bahwa remaja memperlihatkan tingkah laku negatif karena lingkungan yang tidak memperlakukan mereka sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan perkembangan mereka.
Oleh sebab itu, Elida (2006: 3) berpendapat bahwa orang dewasa seharusnya menyadari bahwa remaja tidak ingin dituntut patuh kepada apa saja yang diinginkan orangtua atau orang dewasa lainnya, tetapi mereka butuh untuk dimandirikan dalam memecahkan masalah kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat umumnya.
Menurut Blair&Jones,1964; Ramsey,1967; Mead,1970; Dusek,1977; Besonky,1981; (dalam Elida, 2006: 4-6) mengemukakan sejumlah ciri khas perkembangan remaja sebagai berikut:
1. Remaja mengalami perubahan fisik (pertumbuhan) paling pesat, dibandingkan dengan periode perkembangan sebelum maupun sesudahnya, pertumbuhan fisik pada permulaan remaja sangat cepat.
2. Mempunyai energi yang berlimpah secara fisik dan psikis yang mendorong mereka untuk berprestasi dan beraktivitas.
3. Perhatian mereka lebih terarah kepada teman sebaya dan secara berangsur melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga.
4. Remaja memiliki keterkaitan kuat dengan lawan jenis.
5. Periode idealis. Periode ini remaja merupakan periode terbentuknya keyakinan tentang kebenaran, keagamaan, dan kebijaksanaan yang benar terjadi di masyarakat.
6. Menunjukkan kemandirian. Remaja menunjukkan keinginan untuk mengambil keputusan tentang diri mereka sendiri.
7. Berada pada posisi transisi antara kehidupan masa kanak-kanak dan kehidupan orang dewasa. Oleh karena itu, mereka akan mengalami berbagai kesulitan dalam hal penyesuaian diri untuk menempuh kehidupan sebagai orang dewasa.
8. Pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri merupakan suatu kekhasan perkembangan remaja untuk mengatasi periode transisi.
Di samping itu, Sarlito (1989: 71-72) mengemukakan bahwa remaja adalah transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah sudah ada ciri-ciri psikologi tertentu pada diri seseorang. Menurut G. W. Allport (dalam Sarlito, 1989: 71-72) adalah sebagai berikut :
1. Pemekaran diri sendiri (extension of the self)
2. Kemampuan untuk melihat dirinya sendiri secara objektif (self objektivication)
3. Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life).
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dalam masa transisi ini banyak karakteristik yang ditunjukkan remaja untuk menuju kedewasaan.
C. PERKEMBANGAN REMAJA
Havighurst (dalam Elida, 2006: 13) menjelaskan sembilan tugas perkembangan yang seharusnya dicapai pada periode remaja, yaitu :
1. Menguasai kemampuan membina hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya atau berbeda jenis kelamin. Kemampuan itu adalah kemampuan berpikir sosial positif, empati, kontrol emosi dan altruistik.
2. Menguasai kemampuan melaksanakan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
3. Menerima keadaan fisik dan mengaktualisasikan secara aktif.
4. Mencapai kemerdekaan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
5. Memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi
6. Memiliki kemampuan untuk memilih dan mempersiapkan diri untuk karier.
7. Berkembangnya keterampilan intelektual, dan konsep-konsep yang perlu untuk menjadi warga Negara yang baik.
8. Memiliki keinginan untuk bertanggungjawab terhadap tingkah laku sosial.
9. Memiliki perangkat nilai dan sistem etika dalam bertingkah laku.
Lain halnya dengan Syamsu (2001: 193-201) yang mengemukakan lebih rinci lagi tentang perkembangan remaja, yaitu:
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik remaja ditandai semakin matangnya fungsi organ-organ tubuh remaja.
2. Perkembangan kognitif (intelektual)
Menurut Piaget (Syamsu, 2001: 195) masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatan-kegiatan mental mengenai gagasan). Remaja secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak.
Siselman & Shaffer (dalam Syamsu, 2001: 195) menyatakan bahwa pada usia 16 tahun, berat otak sudah menyamai orang dewasa. Sistem syaraf yang memproses informasi berkembang secara tepat pada usia ini. Pada masa remaja terjadi reorganisasi lingkaran syaraf Lobe Frontal yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi, yaitu kemampuan merumuskan perencanaan strategis, atau mengambil keputusan. Lobe Frontal ini terus berkembang sampai usia dua puluh tahun atau lebih. Perkembangan Lobe Frontal ini sangat berpengaruh kepada kemampuan intelektual remaja, seperti pada usia dua belas tahun, walaupun secara intelektual remaja ini temasuk anak berbakat atau pintar, namun belum bijaksana. Maksudnya remaja tersebut mampu memecahkan masalah secara benar, tetapi tidak seterampil remaja yang lebih tua usianya yang menunjukkan wawasan atau perspektif yang luas terhadap masalah .
Sejalan dengan itu, Keating, Adam & Gullota (dalam Syamsu, 2001: 195) merumuskan lima hal pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut:
a. Berlainan dengan cara berpikir anak-anak. Remaja sudah mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang nyata dan konkret dengan yang abstrak dan mungkin.
b. Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalas secara ilmiah.
c. Remaja dapat memiikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
d. Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif itu efisien atau tidak.
e. Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topic-topik baru, ekspansi (perluasan) berpikir.
3. Perkembangan Emosi
Gessel dkk (dalam Syamsu, 2001: 197) mengemukakan bahwa remaja empat belas tahun sering kali mudah marah, mudah terangsang, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka :tidak mempunyai keprihatinan”. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.
4. Perkembangan Sosial
Syamsu (2001: 198) menjelaskan bahwa pada masa remaja berkembangan “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik yang menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lenih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalaui jaringan persahabatan maupun percintaan (pacaran).
Selanjutnya Syamsu (2001: 198) menjelaskan bahwa pada masa ini juga berkembangan sikap “conformity” , yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran,(hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas remaja memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya.
5. Perkembangan Moral
Syamsu (2001: 199-200) mengemukakan bahwa pada masa ini remaja sudah mengenal nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk member kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanyan penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
6. Perkembangan kepribadian
Syamsu (2001: 200-201) bahwa pada perkembangan kepribadian ini, ditandai dengan adanya perkembangan identity, yaitu perkembangan dalam pencarian identitas diri, idenity merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa.
Dengan demikian, remaja dalam perkembangannya mengalami perkembangan fisik, kognitif, sosial, emosional, dan kepribadian.
BAB III
IDENTITAS DIRI PADA PERKEMBANGAN REMAJA
A. PENGERTIAN IDENTITAS DIRI
Manusia memiliki berbagai perbedaan dalam dirinya dengan orang lain sebagai individu yang unik, begitu juga dengan identitas dirinya, sebagaimana pendapat Schultz (1994: 69-70), manusia membutuhkan suatu perasaan identitas sebagai individu yang unik, suatu identitas yang menempatkannya terpisah dari orang-orang lain dalam hal perasaannya tentang dia, siapa, dan apa. Cara yang sehat untuk memuaskan kebutuhan ini adalah individualitas, proses di mana seseorang mencapai suatu perasaan tertentu tentang identitas diri. Sejauh mana kita masing-masing mengalami suatu perasaan yang unik tentang diri (selfhood) tergantung pada bagaimana kita berhasil memutuskan ikatan-ikatan sumbang dengan keluarga, suku, atau bangsa kita.
Orang-orang dengan perasaan individualitas yang berkembang baik mengalami diri mereka seperti telah mengontrol kehidupan mereka sendiri, dan kehidupan mereka tidak dibentuk oleh orang-orang lain. Dengan kata lain, individu independen dalam menentukan dan membentuk identitasnya.
Pencarian identitas merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang pertama kali diperkenalkan oleh Erikson. Hal ini sesuai dengan pendapat Burns (1993: 31):
Dari para penganut neo-Freud hanya Erikson yang sungguh-sungguh memberikan banyak perhatian kepada diri sebagai obyek….Erikson menghasilkan suatu rangkaian perkembangan delapan tahapan dari pertumbuhan identitas. Dia memerinci konflik-konflik khusus yang merupakan ciri dari tahapan yang berbeda-beda dan kualitas-kualitas yang muncul pada pemecahan dari konflik ini. Identitas merupakan suatu kesulitan khusus pada masa remaja dan erikson memberikan perhatian yang cukup banyak terhadap krisis ini da penyebaran identitas pada tahapan itu. Dia mendefinisikan identitas sebagai ‘suatu pengertian subyektif dari suatu kesamaan dan kontiniutas yang menyegarkan’.
Berkenaan dengan pengertian Identitas diri, Schultz (1994: 26)berpendapar bahwa identitas diri adalah:
Identitas diri. Anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, menyadari bahwa bayangan dalam cermin hari ini adalah bayangan dari orang yang sama seperti yang dilihatnya kemarin, dan percaya bahwa perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman pengalaman yang berubah-ubah.
Sejalan dengan itu, Salvotare R. Maddi (dalam Taufik, 2002: 71) berpendapat bahwa:
Perkembangan yang diinginkan pada masa ini adalah anak dapat mengenal identitas dirinya sendiri, yaitu dia mengetahui siapa dirinya, apa potensinya dan hendak ke mana arah kehidupannya. Justru pada masa ini konsep diri sudah berkembang. Di dalamnya tercakup pengalaman-pengalaman tentang mampu atau tidak mampu melakukan sesuatu. Demikian juga kesadaran tentang peranan-peranannya baik sebagai seorang wanita maupun sebagai seorang pria. Peranan-peranan yang mereka pilih tentu amat bergantung pada berlakunya budaya tertentu terhadap jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh pria oleh wanita.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sebelum identitas diri dilakukan, remaja tersebut sudah memiliki konsep diri yang mantap dan sudah mengerti dengan peranan-peranannya. Pendapat ini diperkuat oleh Erikson (Santrock, 2007: 208) menjelaskan:
Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa? Apakah nantinya ia dapat menjadi seorang suami atau ayah?… Apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang rasa tahu agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal?
Sedangkan “diri” itu sendiri Erikson (dalam Burns, 1993: 32) mengklaim bahwa “Suatu pengertian tentang diri yang optimal adalah pengertian tentang mengetahui ke mana seseorang sedang pergi dan mengetahui keyakinan bagiam dalam (inner assuredness)”.
Sedangkan Calhoun (1990: 38) mendefinisikan “diri” sebagai “Suatu susunan konsep hipotesis yang menunjuk pada perangkat kompleks dari karakteristik proses fisik, perilaku dan kejiwaan seseorang”.
Dengan demikian, diri merupakan pengertian diri yang optimal berupa konsep diri yang kompleks, yang terdiri dari karakteristik fisik, perilaku, dan kejiwaan individu. Namun, di antara karakteristik-karakteristik tersebut, nama merupakan hal terpenting, sebagaimana pendapat Allport (dalam Schultz, 1994: 27) “Segi yang sangat penting dalam identitas diri adalah nama orang. Nama itu menjadi lambang dari kehidupan seseorang yang mengenal dirinya dan membedakannya dari semua diri dari semua yang lain di dunia”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu perasaan sebagai individu yang unik, yang menempatkannya terpisah dari orang-orang lain dalam hal perasaannya tentang dia, siapa, dan apa, sehingga perasaan-perasaan itulah yang melatarbelakanginya dalam menempatkan tingkalh laku daln tindakannya sesuai dengan peranan yang diperolehnya.
B. STATUS IDENTITAS
Identitas diri merupakan suatu potret diri individu yang berbeda dengan individu lainnya. Erikson (dalam Santrock, 2007: 192) mengemukakan berbagai potret individu tersebut, yaitu:
1. Jalur karier dan pekerjaan yang ingin diikuti (identitas pekerjaan/karir)
2. Identitas politik, yaitu aliran politik yang diikuti.
3. Identitas religious, yaitu keyakinan spiritual seseorang.
4. Identitas relasi, yaitu apakah seseorang itu melajang, menikah, bercerai, atau hidup bersama.
5. Identitas prestasi, yaitu kemampuan intelektual seseorang.
6. Identitas seksual.
7. Identitas budaya/etnis.
8. Minat, yaitu hal-hal yang gemar dilakukan seseorang.
9. Kepribadian, yaitu karakteristik kepribadian seseorang.
10. Identitas fisik, yaitu gambaran tubuh seseorang.
Gagasan-gagasan tersebutlah yang mendasari perkembangan status identitas. Marcia (dalam Santrock, 2007: 190-191) berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas, yaitu :
1. Identity diffusion, istilah yang adalah istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada remaja yang belum pernah mengalami krisis (belum pernah mengeksplorasi berbagai alternatif yang bermakna) ataupun membuat komitmen apapun. Mereka tidak hanya membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu.
2. Identitiy foreclose, merujuk pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis identitas.
3. Identity moratorium, merujuk pada kondisi remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu.
4. Identity archievement, merujuk pada kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.
Selanjutnya Marcia (dalam Santrock, 2007: 190-191) mengemukakan bahwa di masa remaja awal, sebagian besar anak muda muda terutama memiliki status identitas diffusion, foreclosure, atau moratorium.
Lebih jauh Marcia (dalam Santrock, 2007: 193) menggunakan krisis dan komitmen individu untuk mengklasifikasikan individu menurut keempat status identitas. Ia mendefinisikan krisis (crisis) sebagai suatu periode perkembangan identitas di mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna. Sedangkan komitmen (commitment) diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan.
Jadi dapat dikatakan dalam status identitas, krisis dan komitmen remaja sangat dibutuhkan agar mampu melewati statusnya dengan baik.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN IDENTITAS
Pembentukan identitas tidak bisa terjadi begitu saja tanpa adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Syamsu (2001: 202) mengemukakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam perkembangan identitas diri, yaitu:
1. Iklim keluarga, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional antaranggota keluarga (ibu-ayah, orangtua-anak dan anak-anak) sikap dan perlakuan orangtua terhadap anak.Apabila hubungan antaranggota keluarga hangat, harmonis, serta sikap perlakuan orang tua terhadap anak positif atau penuh kasih sayang, maka remaja akan mampu mengembangkan identitasnya secara realistik dan stabil (sehat).
2. Tokoh idola, yaitu orang-orang yang dipersepsi oleh remaja sebagai figur yang memiliki posisi di masyarakat. Pada umumnya tokoh yang menjadi idola atau pujaan remaja berasal dari kalangan selebritis dan olahragawan. Meskipun persentasenya sedikit, ada juga tokoh idola remaja itu berasal dari para tokoh masyarakat, pejuang atau pahlawan.
3. Peluang pengembangan diri, yaitu kesempatan untuk melihat ke depan dan menguji dirinya dalam setting (adegan) kehidupa yang beragam. Dalam hal ini, eksperimentasi atau pengalaman dalam menyampaikan gagasan, penampilan peran-peran dan bergaul dengan orang lain (dalam aktivitas yang sehat) sangatlah penting bagi perkembangan identitasnya.
Erikson (Santrock, 2007: 208) kemudian menambahkan faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas, yaitu pengalaman di masa lalu:
Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru, para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun lalu, meskipun untuk melakukannya mereka harus menunjuk secara artificial orang-orang yang baik hati untuk berperan sebagai musuh, dan mereka selalu siap untuk menempatkan idola dan ideal mereka sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identifikasi yang sekarang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanak-kanak.
Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Syamsu Yusuf (2001: 202-203):
Pengalaman sejak masa kecil yang penuh konflik atau frustasi dan kurang mendapat bimbingan keagamaan akan berdampak kurang baik bagi perkembangan remaja. Remaja cenderung akan mengalami kegagalan dalam mengikuti program sekolah dan cenderung memiliki sifat pribadi: tidak jujur, rasionalisasi (suka memberi alasan-alasan untuk menutupi kelemahan dirinya) dan meremehkan otoritas atau norma. Sebaliknya, pengalaman yang menyenangkan akan mempengaruhi sifat-sifat pribadi yang taat hukum dan tak melampaui batas.
Selain itu, kebudayaan juga menjadi berpengaruh dalam pembentukan identitas, hal ini sesuai dengan pendapat Burns (1993: 31) mengatakan bahwa Erikson memberi suatu perluasan dari teori Freud yang menekankan perkembangan ego di dalam konteks kultural. Dia menunjukkan bagaimana kebudayaan menguraikan dari suatu dasar yang diberikan secara biologis suatu identitas yang pantas di dalam budaya yang bersangkutan dan dapat diatur oleh individu itu. Erikson menunjukkan bahwa identitas diperoleh dari ‘pencapaian yang mempunyai arti di dalam budaya tersebut’.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas adalah iklim keluarga, tokoh idola, peluang pengembangan diri, pengalaman-pengalaman masa lalu, serta kebudayaan dalam lingkungan individu tersebut.
D. PEMBENTUKAN IDENTITAS
Pembentukan identitas merupakan hal tersulit yang dilalui remaja, sebagaimana pendapat Erikson (dalam Santrock, 2007: 191) bahwa “remaja kewalahan ketika menghadapi berbagai pilihan pada periode moratorium, sebelum mereka berhasil mencapai penghayatan mengenai diri yang stabil, mereka mencoba berbagai peran dan kepribadian”. Di suatu saat mereka mungkin bersikap argumentatif, sementara di saat lain mereka mungkin bersikap kooperatif. Eksperimen kepribadian ini merupakan sebagai usaha yang disengaja untuk menemukan tempatnya di dunia.
Oleh sebab itulah dalam pembentukan identitas remaja membutuhkan refleksi dan pengamatan secara langsung, sebagaimana pendapat Erikson (dalam Burns, 1993: 32):
Di dalam pengertian psikologi, pembentukan identitas menggunakan proses refleksi dan pengamatan secara bersamaan, suatu proses yang berlangsung pada semua tingkatan dari proses berfungsinya mental, dengannya individu itu menilai dirinya sendiri dipandang dari sudut apa yang dia persepsikan sebagai cara dimana orang-orang lain menilai dia dibandingkan diri mereka sendiri dan terhadap suatu tipologi yang berarti bagi mereka, sementara dia menilai cara mereka menilai dia dipandang dari sudut bagaimana dia persepsikan dirinya dibandingkan dengan mereka dan terhadap tipe-tipe yang telah menjadi relevan baginya”.
Dalam pembentukan identitas, selain dengan menggunakan proses refleksi dan pengamatan langsung,pembentukan identitas juga tidak statis, ia akan selalu berubah-ubah dan berkelanjutan, hal ini sejalan dengan pendapat Burns (1993: 32) bahwa identitas tidak pernah dibuat sebagai suatu pencapaian di dalam bentuk suatu tameng kepribadian, ataupun bentuk apapun yang statis dan tidak dapat berubah-ubah. Pembentukan identitas pada aktualisasi diri merupakan suatu proses yang berkelanjutan dari diferensiasi yang progresif dan kristalisasi-kristalisasi yang meluaskan kesadaran diri dan penjelajahan diri, seraya kehidupan melangkah maju membangkitkan kebingungan yang permulaan diikuti oleh penjelajahan identitas-identitas baru untuk berada (new ways of being).
Di samping itu, Adams, Gulotta, dan Montemayor (dalam Santrock, 2007: 192) menambahkan bahwa identitas diri selama masa remaja tidak akan selalu stabil hingga akhir hidup. Individu yang mengembangkan identitas yang sehat itu memiliki sifat yang fleksibel dan adaptif, terbuka terhadap perubahan yang berlangsung di dalam masyarakat, dalam relasi, dan karier. Keterbukaan ini menjamin adanya sejumlah reorganisasi identitas sepanjang kehidupan seseorang.
Pendapat di atas sejalan dengan Santrock (2007: 70) “Sesungguhnya, penyelesaian masalah identitas pada masa remaja ini tidaklah berarti bahwa identitas tersebut akan stabil sampai akhir masa kehidupan”.
Oleh sebab pembentukan identitas diri itu tidak bukanlah sebuah penyelesaian masalah sampai akhir kehidupan, maka dibutuhkan pemahaman remaja tentang filsafat hidup, sebagaimana Elida (2006: 6) mengungkapkan:
Pencarian identitas diri merupakan suatu kekhasan perkembangan remaja untuk mengatasi periode transisi seperti dikemukakan sebelumnya. Remaja ingin menjadi seseorang yang dianggap benar dalam menghadapi kehidupan ini. Oleh karena itu, remaja memerlukan keyakinan hidup yang benar untuk mengarahkan mereka dalam bertingkah laku. Keyakinan hidup itu disebut filsafat hidup. Remaja butuh filsafat hidup agar dapat memfungsikan dirinya secara sosial, emosional, moral dan intelektual yang dapat menimbulkan pada dirinya. Remaja membutuhkan suatu keyakinan bertingkah laku sebagai anggota keluarga, (sebagai anak, kakak, atau adik), sebagai pelajar, sebagai bangsa Indonesia dengan nilai dan adat-adat atau budaya yang khas.
Filsafat hidup itu dapat dimiliki remaja jika ia diperkenalkan dengan nilai-nilai filsafat itu, diberikan model dari orang-orang dewasa yang dekat dengan dirinya (orang tua dan guru), dan dikenal dengan tingkah laku yang mengundang nilai-nilai filsafat hidup itu dan mendapatkan sokongan dan penghargaan kalau bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai filsafat hidup itu.
Selain dari adanya filsafat hidup, aspek-aspek lain yang hendaknya diperoleh atau yang harus ada pada remaja lebih spesifik Marcia (dalam Santrock, 2007: 190-191) mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek yang penting untuk mengindentifikasikan pembentukan identitas, yaitu :
1. Remaja muda tersebut harus yakin bahwa mereka memperoleh dukungan dari orangtua
2. Remaja harus mencapai prakarsa (sense of industry)
3. Remaja dan harus mampu melakukan reaksi-diri yang menyangkut masa depannya.
Banyak hal yang dilakukan remaja dalam pembentukan identitas dirinya, seperti mencoba melepaskan diri dari orangtuanya, sebagaimana dikemukakan oleh Monks (1982: 279):
Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Sudah barang tentu pembentukan identitas yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap, merupakan aspek yang penting dalam perkembangan berdiri sendiri. Bahwa kita tidak tenggelam dalam peran yang kita mainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, dan sebagainya. Tetapi dalam hal tersebut tetap mengahayati sebagai pribadi dirinya sendiri, adalah suatu pengalaman yang harus dimiliki remaja dalam perkembangan yang sehat.
Selain itu, masih banyak yang dilakukan remaja dalam pembentukan identitas, diantaranya:
1. Mencari referensi dari berbagai media massa atau elektronik seperti koran, tabloid, majalah remaja, dan internet tentang artikel remaja. Hal ini sering dilakukan oleh remaja yang memiliki kegemaran membaca, atau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
2. Melalui pergaulan dengan teman sebaya. Biasanya remaja lebih nyaman bila bertukar pendapat dengan teman dekat dibandingkan keluarganya. Sebab waktu mereka sebagian besar berada dalam lingkungan sosialisasi tersebut, misalnya teman sekolah. Biasanya mereka akan mengidentitaskan diri dengan sekelompok teman yang lain, dan tidak ingin berhubungan dengan orang lain yang tidak memiliki pengaruh atau karakter yang menarik bagi dirinya.
3. Melalui suatu simbol yang dapat mencerminkan status mereka. Seperti hanya mau menggunakan pakaian, sepatu, tas yang bermerek. Mereka akan membangun kebanggaan diri dengan mengidentitaskan diri dalam suatu bentuk kelompok tertentu.
4. Adapun anak remaja mencari identitas diri dengan berprilaku menyimpang atau suatu bentuk kenakalan. Biasanya dimulai dengan adanya pengakuan dan penerimaan dirinya dalam suatu kelompok pergaulan yang salah. Biasanya mereka melakukan beberapa hal kenikmatan sementara yang merugikan, dan hal ini biasanya dilakukan orang dewasa, seperti konsumsi narkoba atau minuman beralkohol, seks bebas, dan merokok.
5. Mereka kadang-kadang melakukan pemberontakan sebagai isyarat bahwa mereka ingin dianggap lebih dewasa. Kadang pemberontakan juga sebagai pemisah dari bayangan identitas dan karakter orang tua terhadap dirinya, untuk mendapat pengakuan dari teman-teman di lingkungan pergaulannya.
6. Mengidolakan dan meniru seseorang. Kadang mereka mengidentitaskan diri dengan berekperimen atau meniru karakter dari orang lain, seperti selebritis, penyanyi idola mereka, atau figur yang menarik dan terkenal lainnya. Tetapi jika hal ini dilakukan terus menerus, maka anak akan kehilangan jati dirinya.
7. Mencoba berbagai peran. Santrock (2007: 70) mengemukakan bahwa pencarian identitas pada masa remaja dibantu oleh moratorium psikososial, istilah Erikson untuk celah antara keamanan masa

kecil dan otonomi masa dewasa yang dialami remaja sebagai bagian dari eksplorasi identitas dirinya. Pada periode ini, masyarakat membebaskan remaja dari tanggung jawab dan dibebaskan untuk mencoba berbagai macam identitas. Untuk itu, Sangat penting bagi orang dewasa untuk memberikan waktu dan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi berbagai peran dan kperibadian yang berbeda. Kebanyakan remaja kemudian akan membuang peran-peran yang tidak diinginkan.
Selain itu, Marcia (dalam Monks, 1982: 280) berpendapat bahwa perkembangan identitas itu terjadi selain dari mencari secara aktif (eksplorasi), juga tergantung pada adanya commitments. Dalam proses perkembangan identitas maka seseorang dapat berada dalam status yang berbeda. Peran commitments ini telah dibuktikan oleh penelitian Borma (dalam Monks, 1982: 279) yang meneliti kurang lebih 300 anak muda usia 13 sampai 21 tahun menemukan adanya commitments dengan sekolah dan pekerjaan, bentuk-bentuk pengisisan waktu luang, persahabatan, dan relasi dengan orangtua sangat populer diantara anak muda berkaitan dengan perkembangan menemukan dirinya sendiri.
Dalam hal tersebut tadi Debesse (dalam Monks, 1982: 280) mempunyai perdapat yang berbeda, dia berpendapat bahwa “Remaja sebetulnya menonjolkan apa yang membedakan dirinya dari orang dewasa, yaitu originalitasnya dan bukan identitasnya”.
Istilah originalitas didefenisikan Monks (1982: 279) yaitu keadaan untuk lebih dapat menemui dan bergaul dengan teman-teman sebaya dan hidup kesepian, ia akan tetap memanifestasi penampilan-penampilan mudanya yang membedakan dirinya dari penampilan anak dan orang dewasa. Pengertian origibalitas disini tidak boleh diartikan secara individual. Dalam pernyataan-pernyataan mereka, mereka tidak individualistik maupun tidak kreatif, originalitas merupakan sifat yang khas pengelompokan anak-anak muda (sebagai keseluruhan). Mereka menunjukkan kecenderungan untuk memberikan kesan lain daripada yang lain untuk menciptakan suatu gaya sendiri, sub kultur sendiri.
Adapun cara yang tidak sehat dalam membentuk identitas adalah sebagaimana pernyataan Schultz (1994: 69-70):
Cara yang tidak sehat dalam membentuk suatu perasaan identitas adalah menyesuaikan diri dengan sifat-sifat suatu bangsa, ras, agama, atau pekerjaan. Dengan cara ini, identitas ditentukan berdasarkan kualitas-kualitas suatu kelompok, bukan berdasarkan kualitas-kualitas suatu kelompok, bukan berdasarkan kualitas-kualitas diri. Dengan melekat pada norma-norma, nilai-nilai, dan tingkah laku kelompok-kelompok itu, seseorang benar-benar menemukan semacan identitas, akan tetapi diri dikorbankan. Dalam hal ini, diri dipinjam dari kelompok dan tidak memberikan suatu perasaan individualitas yang baik.
Kemudian Santrock (2007: 70) mengemukakan bahwa remaja yang sukses dalam menghadapi konflik identitas diri akan muncul dengan diri yang baru dan dapat diterima. Remaja yang belum sukses dalam menghadapi krisis ini akan mengalami apa yang oleh Erikson disebut identity confusion. Kebingungan ini akan mengakibatkan dua kemungkinan, individu menarik diri dan mengisolasi diri mereka dari teman dan keluarga, atau menenggelamkan diri mereka dalam pergaulan sehingga kehilangan identitas mereka dalam keramaian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa identitas dibentuk diawali dengan adanya konsep diri, proses refleksi dan pengamatan secara langsung, kemudian barulah remaja tersebut melakukan berbagi hal untuk menunjukkan dirinya, seperti mencari berbagai referensi yang menarik untuk menambah wawasannya tentang jati diri seperti apa yang ia inginkan, mencoba berbagai peran, mencari figur dan model yang dianggapnya menarik dan menyenangkan. Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan renaja juga melakukan hal-hal yang salah dan di luar norma-norma yang berlaku jika hal itu menyenangkan dan ia menikmatinya.
E. PERANAN ORANGTUA DAN GURU PEMBIMBING DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS REMAJA
1. Peranan Orangtua
Orangtua sangat berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, termasuk dalam pembentukan identitas diri, gaya pengasuhan orangtua sangat mempengaruhi pembentukan identitas remaja, Santrock (2007: 190-191) mengemukakan bahwa orangtua adalah tokoh yang berpengaruh dalam proses pencarian identitas pada remaja. Orangtua demokratis yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan akan mengembangkan Identity archievement. Sebaliknya orangtua otokratis, yang mengontrol perilaku remaja dan tidak memberikan peluang kepada mereka untuk mengekspresikan pendapat, akan mengembangkan Identitiy foreclosure. Orangtua permisif yang kurang memberikan bimbingan dan membiarkan remaja untuk membuat keputusan sendiri, akan mengembangkan Identity diffusion. Komunikasi yang buruk antara ibu dan remaja serta konflik-konflik di antara kawan-kawan juga berkaitan dengan perkembangan identitas yang kurang baik.
Di samping gaya pengasuhan, para peneliti mengkaji peran individualitas dan keterjalinan dalam perkembangan identitas. Catherine Cooper dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007: 190-191) berpendapat bahwa “Atmosfir keluarga yang mendukung individualitas dan keterjalinan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas remaja”.
Cooper dan rekan-rekan (dalam Santrock, 2007: 190-191) mendefinisikan istilah-istilah ini sebagai berikut:
1. Individualitas (individuality) terdiri dari dua dimensi: pernyataan diri, atau kemampuan untuk memiliki dan mengomunikasikan sudut pandangnya; dan keterpisahan, atau penggunaan pola komunikasi untuk mengekspresikan perbedaan seseorang dari yang lain.
2. Keterjalinan (connectedness) terdiri dari dua dimensi: mutualitas, yang mencakup sensitivitas dan penghargaan terhadap pandangan orang lain, serta permeabilitas, yang mencakup keterbukaan terhadap pandangan orang lain.
Sejalan dengan hal di atas, Harter (dalam Santrock, 2007: 190-191) memperkuat bahwa “Gaya interaksi keluarga yang memberikan kesempatan kepada remaja untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat dalam konteks yang saling mendukung akan mengembangkan pola perkembangan identitas yang sehat”.
2. Peran Konselor atau Guru Pembimbing
Pembentukan identitas diri tidak hanya melibatkan orangtua remaja tersebut, bimbingan dan bantuan dari konselor atau guru pembimbing di sekolah juga sangat dibutuhkan. Dalam upaya membantu remaja (siswa) menemukan identitas dirinya, Woolfolk (dalam Syamsu Yusuf, 2001: 203)) menyarankan sebagai berikut :
a. Berilah para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa. Caranya:
(1) Menyarankan kepada remaja untuk membaca literatur yang isinya menyangkut dunia kerja;
(2) Mendatangkan nara sumber untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka memilih tentang profesi yang dijalaninya.
b. Membantu siswa untuk menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya. Caranya:
(1) Mendorong keberanian mereka untuk berbicara kepada konselor (guru pembimbing)
(2) Mendiskusikan potensi-potensi dirinya.
c. Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh, seperti dalam berpakaian. Caranya: Dengan mendiskusikan tentang tatakrama dalam berpakaian atau berpenampilan yang baik.
d. Memberi umpan balik yang realistis terhadap siswa tentang dirinya. Caranya:
(1) Pada saat siwa berperilaku menyimpang maka diskusikanlah dengan mereka tentang dampaknya baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain
(2) Memberi contoh kepada siswa tentang orang tua yang berhasil baik dalam studi maupun dalam bekerja
(3) Mendiskusikan tentang penampilan atau perilaku yang menyimpang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peran orangtua dan guru pembimbing atau konselor haruslah sejalan. Di samping ada dukungan dan bimbingan orangtua di lingkungan keluarga, guru pembimbing sebagai salah satu pihak pendidik di lingkungan sekolah juga sangat berperan dalam pembentukan jati diri remaja tersebut. Kedua pihak tersebut hendaklah bekerjasama untuk membentuk identitas diri remaja yang baik.


0 comments:

Post a Comment